Friday, December 5, 2008

Bangga sama ayah (ssst...tapi jangan kasitau ke ayah ya...)

Persiapan pernikahan saya dan Si Aa berjalan tersendat-sendat, perlahan-lahan, seperti mobil yang padat merayap di Pasar Ciputat. Sepertinya ayah kurang memberikan respon yang antusias terhadap segala tetek-bengek pernikahan ini. Berbeda sekali dengan keantusiasannya dalam mengatur dan mempersiapkan pernikahan anak teman-temannya. Entah kenapa. Tapi saya punya perkiraan, apa kira-kira penyebabnya. Mungkin salahnya ada pada saya. SAya yang masih punya hutang yang belum juga saya lunasi. Tapi entahlah... Yang jelas, apa pun alasannya, ada rasa nyeri yang kadang melintas di hati ini. Sedikit saja, tapi lalu cepat-cepat kutepis. Pasti ada alasan yang bagus.....pasti...

Hingga kini, 4 bulan menjelang hari besar itu, banyak hal yang belum dipastikan dan dilakukan. Saya mencoba melakukan semuanya sendiri, tapi susah juga ya, mengingat semuanya tergantung kepastian akan dananya. Mencari dan menghubungi vendor-vendor saya lakukan sendiri. Membanding-bandingkan satu dengan yang lain, juga saya lakukan sendiri. Juga menghitung ini dan itu.

Saya sempat bingung saat ayah meminta dibuatkan budgetingnya dan kemudian menyerahkannya pada beliau. Saya menolak. Karena bagi saya, itu akan terlihat seperti saya yang mengajukan proposal kegiatan. Seakan-akan saya lah yang minta pernikahan ini dirayakan, dengan cara seperti ini dan itu, dengan harga segini dan segitu. Padahal saya gak pernah meminta pernikahan dirayakan. Saya harus tahu diri. Saya hanya meminta dinikahkan saja, lalu syukuran kecil-kecilan. Tapi toh ayah sendiri yang menginginkan dirayakan, dengan alasan saudara dan kerabat saya banyak sekali, ditambah lagi saya adalah cicit dan cucu pertama dalam keluarga.

Ayah bersikukuh bahwa sayalah yang mengerti segala sesuatunya sehingga saya lah yang harus membuat perincian anggaran dananya. Ayah hanya menyebutkan kisaran nominal budgetnya, tapi sayalah yang merinci dan mengatur. Agak sulit juga membuatnya, karena saya toh harus menekan dana menjadi kecil...cil. Kadang saya merasa seperti menjadi WO (wedding organizer) dalam pernikahan ini, bukan sebagai calon pengantinnya. Ayah mau panitia pake ini itu, acara di gedung ini, tapi dananya segini, sehingga saya harus atur supaya cukup. Tapi okelah...saya buat. Hasilnya jauh dari sempurna sih, tapi cukup rinci sampai ke perkiraan harga bahan kebaya bagi panitia.

Sampai di sini, ternyata ayah belum juga mau membicarakan rencana-rencana pernikahannya.
Saya tetap saja ditinggalkan dalam keadaan bingung dan merasa sendiri.

Sejujurnya, saya menikmati pekerjaan-pekerjaan seperti ini. Tapi tetap saja ada rasa bingung yang menyertai. Kalau saja yang saya urus adalah pernikahannya orang lain, pasti saya gak akan sepusing dan se-emosional ini. Selain itu ada sedikit rasa iri dengan anak-anak teman-teman ayah yang lain, yang pernikahannya dari A sampei Z, atau dari H sampai Z diurus oleh ayah saya dan ayah mereka.

Untung ada Mama yang selama ini ada di samping saya. Yang walaupun juga kurang tahu banyak, tapi selalu menghibur. Kalau saya sudah mulai kesal, mama menenangkan. Mama bilang walaupun pahit tapi pasti ada gunanya untukku. Suatu saat, pasti ada gunanya.

Di sisi lain, saya sangat bangga dengan ayah. Suatu saat beliau bilang bahwa krisis global ikut berpengaruh pada perusahaannya. Tidak berpengaruh pada penghasilan ayah, untungnya. Tapi berpengaruh pada trainee-trainee dari kantor ayah. Cerita singkatnya begini:
Jepang adalah negara eksportir. Dikala keadaan ekonomi negara-negara pengguna produk jepang melemah, perekonomian Jepang justru kuat. Hal ini menyebabkan harga produk Jepang menjadi sangat tinggi bagi negara-negara kliennya. Singkat kata, produk Jepang jadi kurang laku lagi. Sehingga tingkat produksi Jepang menurun. Tenaga kerja dari Indonesia banyak yang nganggur jadinya. Akibatnya banyak trainee yang dipulangkan. Calon-calon trainee juga banyak yang dicancel keberangkatannya.

Nah kembali ke laptop, kalau sampai Januari nanti keadaan ini tidak juga membaik, maka pernikahan saya tidak akan dirayakan sesuai rencana sementara ini. Alasannya lebih kepada kepedulian sosial dan empati kepada para karyawan serta trainee-trainee itu, dan pada keadaan ini secara umum. Masak orang-orang lagi susah, kita malah pesta-pesta. Apalagi ayah memegang jabatan yang cukup tinggi di kantornya. Tidak mungkin ayah mengabaikan perasaan karyawan dan trainee-traineenya. Kita tidak boleh menutup mata, menutup telinga, dan tebal muka terhadap keadaan dan masalah yang menimpa orang lain. Kita harus berempati kepada mereka.

Subhanallah....saya bangga sama ayah. Alhamdulillah ayah saya bukan Nirwan Bakrie...alhamdulillah...

Gak papa Yah, saya gak papa kok kalo pernikahannya gak dirayain. Restu dan iringan doa dari mama dan ayah adalah hadiah terindah untuk saya. Masalah pesta, siapa sih yang gak mau.... Tapi insyaAllah, itu bukan prioritas bagi saya dan aa.


NB: ssst..jangan kasitau ke ayah ya kalo saya bangga. Kita berdua mah saling gengsian...

Wednesday, November 19, 2008

meong meong, guk guk, wek wek, auuum, cicicuit, petok petok...

Temanku tertawa saat kami berjalan dan tiba-tiba saya berjongkok, hanya sekedar untuk menyapa dan tersenyum pada kucing liar kurus di pojokan jalan. Temanku lalu meringis saat saya kembali menyapa riang seekor anjing hitam bermuka lucu di sebuah rumah berpagar hijau. Lalu temanku itu mulai geleng-geleng kepala saat saya bertanya kepada anak kucing belang tiga, "Hei kecil ke mana mamamu? Kamu udah makan belum?"Dan akhirnya temanku mulai mengataiku 'sinting' ketika aku melihat kucing jantan yang kurus dan budukan penuh luka lalu menahan tangis sambil mendoakan kebahagiaan hidupnya.
Seorang anak mengejar-ngejar kucing. Dia tarik ekor si kucing, dia pukul, lalu ditendang. Si kucing yang marah menyakar anak tersebut. Si anak menangis, si ibu memukul kucing itu, menyalahkan si kucing karena membuat anaknya menangis.

Kupikir, bukankah manusia dan hewan sama saja? Sama-sama harus diperlakukan dengan baik. Sama-sama harus dihormati hak-haknya dan dihargai keberadaannya.

Jadi kenapa kucing liar harus ditendang? Kenapa anjing liar boleh dilempar batu? Apakah mereka menyakiti?

Kecintaan pada binatang memang candu, gak bisa dibendung. Ada anak kucing liar yang nangis-nangis kelaparan, rasanya gak tega. Ada burung yang sayapnya luka dan gak bisa terbang, kok hati ini nelangsa. Lama-lama ada rasa ingin memungut (atau paling tidak, ada rasa HARUS memungut). Karena kalau tidak dipungut atau dibantu, rasa bersalahnya akan menghantui lama setelahnya. Akibatnya, di rumah ini jadi banyak kucing pungut. Di rumah nenek pun begitu. Dokter hewan di Bandung dan di Bintaro udah hafal kalo kucing-kucing yang kubawa ke mereka pasti kucing kampung yang kumal, bukan kucing keren yang mahal dan jelas silsilahnya.

Ke dokter hewan?!?!?! Iya, ke dokter hewan. Tak jarang hewan-hewan pungut itu sakit, dari mulai bronkhitis akut, diare, cacingan, flu, sampe virus yang gak jelas. Mau gak mau ya kita bawa ke dokter demi kelangsungan hidupnya. Sesekali bahkan ada yang rawat inap. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi cobalah lihat dari sisi yang lain. Bukankah kita harus menolong sesama mahluk hidup, siapa pun dia? Selama masih mampu, kenapa tidak?

Tak jarang juga saya ini dijuluki 'dokter kucing' sama Uwa saya yang dokter manusia. Pemicunya mungkin karena beliau sering melihat saya 'sok' merawat hewan-hewan tadi. Gak selamanya kan saya bisa ke dokter hewan. You know lah....finansial....
Jadi mulailah saya bereksperimen. Kucing yang matanya belekan parah sampe gak bisa liat, saya kompres matanya pake kapas yang dicelup air teh. Kucing yang sakit apalah entah sampe gak mau makan dan lemes, saya suapi makanan kucing basahan. Kalau dia gak mau makan juga, saya suapi air madu supaya tubuhnya kuat, ditambah dengan disuapi susu yang sudah ditetesi propolis. Atau bisa juga dikasih air kaldu. Alhamdulillah, banyak yang sembuh. Baru kalau sudah parah banget, ya mau gak mau dibawa ke dokter hewan. Walaupun kan teuteup...harus dirawat ekstra juga di rumah.

Pernah suatu hari mama mengeluhkan tentang besarnya jumlah makanan yang harus diberikan pada kucing-kucing pungut kami. Reaksi yang wajar saja menurut saya. Tapi terlontar begitu saja kata-kata sok bijak dari mulut ini, "Ma, setiap mahluk punya rezeki masing-masing. Siapa tahu di dalam harta kita ada rezeki mereka. Lagian kita kan gak akan kelaparan cuma gara-gara kasih makan kucing." Mama mengangguk setuju. Kami sama-sama yakin bahwa berbagi adalah kewajiban. Selama dilakukan dengan ikhlas, maka kita pun gak akan pernah kekurangan.

Sedikit cukilan hadis akan coba saya sisipkan di sini.
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Seorang wanita pezina melihat seekor anjing yang berputar-putar di atas sumur pada hari yang panas. Anjing itu menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu menimba air dari sumur dengan sepatunya, maka dia diampuni."


Lalu apa yang menyebabkan kita enggan bersikap baik terhadap hewan?






Penyusup di Kawinan Orang

Beberapa minggu lalu...

Si Saya, Rudi (sahabat), dan Ahra (adik bungsu) pergi ke kondangan kawan.
Rudi bertanya pada Si Saya sambil menyalakan Avanza hitam, "Ke mana kita pergi?"
Si Saya menjawab dengan yakin, "Balai Kartini, Gatot Subroto."

Meluncurlah mereka bertiga ke Gedung Balai Kartini untuk menghadiri pernikahan Chitta, salah satu teman Si Saya di milis keroncong. Sejujurnya, Si Saya juga belum pernah ketemu sama Chitta, bahkan sama sekali gak tau gimana wajah Chitta. Kunjungan ini sekaligus kop-dar (kopi darat) mereka yang pertama.

Sampailah mereka di Balai Kartini, gedung megah yang termasuk kelas high class sebagai lokasi pernikahan di Jakarta. Pestanya terlihat "wah" dengan tamu-tamunya yang juga berpenampilan. Tapi ternyata pas ngeliat karangan-karangan bunga yang mejeng di sana, kagetlah Si Saya, karena tulisannya adalah "Rika & Reza", bukannya "Chitta & Ziggy". OMG, Si Saya salah masuk gedung.

Dia sudah memutar badan, hendak keluar, tapi Ahra dan Rudi bilang, "Kita udah kelaparan banget nih. Makan dulu aja yuk. Nanti baru cari tahu di mana Chitta sebenernya."
Si Saya gak ada pilihan selain mengangguk, karena selain perutnya yang sudah salsa-an bahkan rock-an minta makan, dia pun gak tahu harus mencari Chitta di mana.

"Perasaan sih bener di Balai Kartini deh," Begitu pikir Si Saya.

Bodohnya, memang undangan yang hanya berupa hasil pindaian yang kemudian di-imelkan itu gak dibaca lagi, apalagi di print, oleh Si Saya. Dia sudah still yakin aja.

Sambil mencari info dan mengingat-ingat lokasi kondangan sesungguhnya, mereka bertiga--tanpa rasa malu--masuk lebih dalam ke gedung itu. Kasih angpao, tulis nama, dan celingak-celinguk lihat suasana. Gak mungkin lah salaman sama penganten. Jadi langsung saja menyambangi gubukan-gubukan yang ada.

Sayang beribu sayang, gedung yang berkapasitas hanya 1000-an orang ini jadi sesak karena dipadati orang yang jumlahnya melampaui kapasitas. Mau ke mana-mana, susah bergerak. Menu makanan yang "wah" didominasi dengan nama-nama makanan berbau Eropa, tapi sayangnya gak sesuai dengan rasanya yang "wih" (baca: gak enak..hehe).

Sejujurnya, perut Si Saya yang tadinya lapar, justru gak nafsu makan lagi. Mungkin lebih karena rasa bersalah sudah menyelinap ke pernikahan orang, sekaligus sibuk sendiri kasak-kusuk cari info dimana pernikahan Chitta yang sesungguhnya. Telpon sana telpon sini, tapi hasilnya nihil. Sampai akhirnya, di antara padat dan bisingnya ruangan itu, Si Saya memejamkan mata, mencoba mengingat dengan sangat-sangat khusyuk (kayak orang meditasi, tapi sambil berdiri) undangan dari Chitta. Kata kunci yang pertama: Gatot Subroto. Kata kunci yang kedua: Hotel. Kata kunci selanjutnya: kartini...ato kartika...

Ah ya!! Dapat!! Kartika Chandra!!

Si Saya langsung menarik tangan Rudi dan Ahra untuk diseret ke Kartika Chandra yang sama-sama terletak di Jalan Gatot Subroto. Harap-harap cemas, supaya kali ini lokasinya tepat. Gak tau kenapa, tapi Si Saya pengen banget ketemu Chitta.

Berbekal uang cadangan yang tinggal 50 ribu (karena uang yang seharusnya untuk Chitta, udah disetor ke undangan salah alamat tadi, yaaah...itung-itung biaya makan bertiga lah), mereka bertiga meluncur mundur, sambil sesekali lihat jam dengan panik karena sudah hampir jam 9 malam.

Tepat pukul 9 kurang lima belas menit, mereka bertiga sampai dan lega begitu melihat nama pengantinnya. Uang 50 ribu dimasukin ke kotak angpao setelah sebelumnya dibungkus tissue putih (soalnya, gada stok amplop lagi....). Ternyata acaranya udah sepiiii. Tinggal beberapa gelintir orang berkebaya dan berbeskap.

Jaln terburu-buru, Si Saya kaget melihat MC-nya....Ya ampuuun...itu kan Tante Mamiek Marsudi, kok bisa ketemu di sini. Cupika-cupiki, lalu langsung ke pelaminan, untuk ketemu sama Chitta. Gak lama sih, karena Chitta mau foto-foto. Gak papa lah, yang penting lega karena udah sempet memenuhi undangannya.

Tapi kaget juga, karena di sana bisa ketemu sama Mas Harry Suliztiarto dan istri. Ternyata Mas Harry itu Om-nya Chitta. Who is he anyway? Mas Harry itu penggagas panjat tebing modern pertama di Indonesia. Beliau "Bos"-nya Si Saya dan Si Aa di Skygers. Hhmm..ternyata dunia ini ya orangnya dikit kok, buktinya ketemu dia lagi, dia lagi.

pelajaran yang didapat pada hari itu:
1. Kalo mau ke undangan, periksa lagi undangannya, kalo perlu dibawa aja tuh undangannya. Jangan sok yakin dulu.

2. Sebaiknya bawa amplop lebih, ato bawa tissue aja kalo gak punya amplop, supaya bisa untuk ngebungkus uang angpao-nya kalo kepepet.

3. Wiken anda sunyi dan membosankan? Ditambah lagi perut anda lapar tapi gak mau makan di warteg? Kunjungi pernikahan terdekat, bawa uang secukupnya saja, lalu....SELAMAT MAKAN. Ini adalah cara mengusir lapar dan kesepian yang sangat-sangat baik....KALAU ANDA GAK TAU MALU.