Wednesday, November 19, 2008

meong meong, guk guk, wek wek, auuum, cicicuit, petok petok...

Temanku tertawa saat kami berjalan dan tiba-tiba saya berjongkok, hanya sekedar untuk menyapa dan tersenyum pada kucing liar kurus di pojokan jalan. Temanku lalu meringis saat saya kembali menyapa riang seekor anjing hitam bermuka lucu di sebuah rumah berpagar hijau. Lalu temanku itu mulai geleng-geleng kepala saat saya bertanya kepada anak kucing belang tiga, "Hei kecil ke mana mamamu? Kamu udah makan belum?"Dan akhirnya temanku mulai mengataiku 'sinting' ketika aku melihat kucing jantan yang kurus dan budukan penuh luka lalu menahan tangis sambil mendoakan kebahagiaan hidupnya.
Seorang anak mengejar-ngejar kucing. Dia tarik ekor si kucing, dia pukul, lalu ditendang. Si kucing yang marah menyakar anak tersebut. Si anak menangis, si ibu memukul kucing itu, menyalahkan si kucing karena membuat anaknya menangis.

Kupikir, bukankah manusia dan hewan sama saja? Sama-sama harus diperlakukan dengan baik. Sama-sama harus dihormati hak-haknya dan dihargai keberadaannya.

Jadi kenapa kucing liar harus ditendang? Kenapa anjing liar boleh dilempar batu? Apakah mereka menyakiti?

Kecintaan pada binatang memang candu, gak bisa dibendung. Ada anak kucing liar yang nangis-nangis kelaparan, rasanya gak tega. Ada burung yang sayapnya luka dan gak bisa terbang, kok hati ini nelangsa. Lama-lama ada rasa ingin memungut (atau paling tidak, ada rasa HARUS memungut). Karena kalau tidak dipungut atau dibantu, rasa bersalahnya akan menghantui lama setelahnya. Akibatnya, di rumah ini jadi banyak kucing pungut. Di rumah nenek pun begitu. Dokter hewan di Bandung dan di Bintaro udah hafal kalo kucing-kucing yang kubawa ke mereka pasti kucing kampung yang kumal, bukan kucing keren yang mahal dan jelas silsilahnya.

Ke dokter hewan?!?!?! Iya, ke dokter hewan. Tak jarang hewan-hewan pungut itu sakit, dari mulai bronkhitis akut, diare, cacingan, flu, sampe virus yang gak jelas. Mau gak mau ya kita bawa ke dokter demi kelangsungan hidupnya. Sesekali bahkan ada yang rawat inap. Mungkin terdengar berlebihan. Tapi cobalah lihat dari sisi yang lain. Bukankah kita harus menolong sesama mahluk hidup, siapa pun dia? Selama masih mampu, kenapa tidak?

Tak jarang juga saya ini dijuluki 'dokter kucing' sama Uwa saya yang dokter manusia. Pemicunya mungkin karena beliau sering melihat saya 'sok' merawat hewan-hewan tadi. Gak selamanya kan saya bisa ke dokter hewan. You know lah....finansial....
Jadi mulailah saya bereksperimen. Kucing yang matanya belekan parah sampe gak bisa liat, saya kompres matanya pake kapas yang dicelup air teh. Kucing yang sakit apalah entah sampe gak mau makan dan lemes, saya suapi makanan kucing basahan. Kalau dia gak mau makan juga, saya suapi air madu supaya tubuhnya kuat, ditambah dengan disuapi susu yang sudah ditetesi propolis. Atau bisa juga dikasih air kaldu. Alhamdulillah, banyak yang sembuh. Baru kalau sudah parah banget, ya mau gak mau dibawa ke dokter hewan. Walaupun kan teuteup...harus dirawat ekstra juga di rumah.

Pernah suatu hari mama mengeluhkan tentang besarnya jumlah makanan yang harus diberikan pada kucing-kucing pungut kami. Reaksi yang wajar saja menurut saya. Tapi terlontar begitu saja kata-kata sok bijak dari mulut ini, "Ma, setiap mahluk punya rezeki masing-masing. Siapa tahu di dalam harta kita ada rezeki mereka. Lagian kita kan gak akan kelaparan cuma gara-gara kasih makan kucing." Mama mengangguk setuju. Kami sama-sama yakin bahwa berbagi adalah kewajiban. Selama dilakukan dengan ikhlas, maka kita pun gak akan pernah kekurangan.

Sedikit cukilan hadis akan coba saya sisipkan di sini.
Muslim meriwayatkan dalam Shahih-nya dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
"Seorang wanita pezina melihat seekor anjing yang berputar-putar di atas sumur pada hari yang panas. Anjing itu menjulurkan lidahnya karena kehausan. Lalu wanita itu menimba air dari sumur dengan sepatunya, maka dia diampuni."


Lalu apa yang menyebabkan kita enggan bersikap baik terhadap hewan?






0 comments: